Sengketa Tanah di Kelurahan Air Raja, Surat Djodi Dipertanyakan Ahli Waris
Jurnalsidik.com, Tanjungpinang,- Klaim sepihak Djodi terhadap lahan seluas kurang lebih 5 hektar di pinggir ruas jln WR. Supratman Km 8 Tanjungpinang yang saat ini diklaim beberapa pihak, mulai terungkap di hadapan pihak Polresta Tanjung Pinang, BPN Kota Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kelurahan dan aparatur RT serta RW setempat.
Bermodal Surat Alas Hak, Djodi bersama lima rekannya, mengklaim lahan yang dikuasai oleh warga secara fisik ini merupakan miliknya. Selanjutnya, Djodi Wirahadikusuma mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tanjung Pinang untuk melakukan pengukuran dan pemetaan Kadastral sesuai berkas para pemohon, sebanyak 11 berkas.
Dari permohonan itu, BPN Kota Tanjung Pinang melalui surat tanggal 9 Agustus 2024, mengagendakan untuk melakukan pengukuran pada hari Jumat (16/08/2024), dan mengundang para pihak yang terkait atas lahan yang akan diukur, termasuk mengundang Haldi Chan, Rudy Susemen selaku ahli waris Djunaidi alias Bun Kwang, dan mengundang pihak yang menguasai fisik lahan tersebut sebagai Ahli Waris dari Abu Thalib dan Ahli Waris Leo Puho.
Pada Jumat (16/08/2024) bertempat di lokasi lahan Jalan WR. Supratman KM.8, Kelurahan Air Raja, terlihat berkisar 40 orang personil kepolisian Polresta Tanjungpinang hadir di lokasi bersama pihak pemohon (Djodi dan rekan-red), pihak BPN dan para pihak lainnya yang diundang. Sementara ahli waris Maimunah, Ahli Waris Rosmaniah, RT dan RW selaku pihak yang turut diundang, tidak hadir di tempat.
Surat Milik Djodi Cs Diragukan Keabsahannya
Saat akan dilakukan pengukuran, para pihak mempertanyakan legalitas surat yang dijadikan Djodi dan rekan mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka.
Menurut Rudy Susemen selaku ahli waris Djunaidi, surat tanah SKT. 267/G -1/ 2003 yang dijadikan Djodi untuk memecahkan beberapa surat atas nama beberapa pemohon yang mengajukan pengukuran, tidak memiliki riwayat yang sah. Karena penerbitan SKT.267 tahun 2003 dasar penerbitannya adalah surat SKT.158/G – 1/1979 atas nama Maimunah diduga ada indikasi pemalsuan.
“267 diterbitkannya dasarnya dari mana?,” tanya Rudy.
“Saya tidak tahu”, jawab Djodi.
“Dia (Djodi-red) bilang surat 267:dan 268 dia beli, dari mana dasar penerbitan surat 267, 268 dan dia mengaku tidak tahu dari mana. Sekarang saya kasih tahu ini,”kata Rudy dihadapan seluruh pihak yang hadir di lokasi.
“158 itu aslinya di saya dan tidak pernah dipecah atau dipindahtangankan. Bapakkan ada saya WA ini PPJB sebagai bukti beli alas hak dengan Maimunah, yang mana yang diterbitkannya 267, 268 yang dibeli Pak Djodi,”terang Rudy
Lanjut Rudy menerangkan bahwa dirinya membelinya dari Maimunah, yang nota benenya selaku orang tua dari Rosmaniah.
“Jadi sekarang, ada yang memalsukan dokumen, karena aslinya di kami loh. Apa bisa surat asli di saya, orang bisa jual tanah, kacau tak,”ungkap Rudy dengan nada heran.
Rudy pun mengatakan tidak akan menghalangi pengukuran yang akan dilakukan selagi lahan yang diukur bukan merupakan lahan atas surat SKT.158 yang dipegangnya.
Dirinya mengatakan pernah mengajukan permohonan pengukuran kepada pihak BPN pada tahun 2000, namun tidak ditindaklanjuti oleh pihak BPN.
“Ini juga ada pembiaran dari pihak BPN, saya dulu pernah mengajukan untuk pengukuran,”kata Rudy.
Dari pertemuan itu akhirnya disepakati untuk penundaan kegiatan pengukuran, dan para pihak akan dilakukan mediasi di kantor BPN untuk dimintai keterangan dengan menunjukkan bukti-bukti pendukungnya, sehingga dapat diketahui keabsahan surat kepemilikan atas lahan yang diklaim oleh masing-masing pihak.
Pernyataan Kuasa Ahli Waris Leo Puho dan Abu Thalib
Usai pertemuan, kuasa ahli waris Leo Puho & Abu Thalib, Patrisius Boli Tobi menyikapi peliknya permasalahan legalitas surat di atas tanah yang dikuasai secara fisik oleh pihak keluarga Leo Puho dan Abu Thalib.
Dirinya mengibaratkan lahan ini seperti “Jalur Gaza”, menjadi perseteruan panjang berbagai pihak dan didukung para pihak yang menyalahgunakan kewenangannya untuk membuat legalitas dengan dasar “palsu”.
Boli (sapaan akrab) mengaku, sebelum dilakukan pengukuran, pihaknya sudah menyurati pihak BPN pada tanggal 7 Agustus, meminta agar dilakukan pemblokiran terhadap permohonan penerbitan sertifikat yang diajukan pemohon di atas lahan yang dikuasai keluarga Leo Puho dan Abu Thalib sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang.
Oleh karena itu, dirinya merasa keberatan saat tim BPN turun ke lokasi untuk tetap melakukan pengukuran, seakan-akan tidak menggubris para pihak yang akan dirugikan akibat dari kegiatan pengukuran ini.
“Tadi saya bersikukuh bahwa kita harus konsisten mematuhi aturan. Dan sangat disayangkan satu oknum BPN Tanjungpinang, tanpa basa basi malah langsung memerintahkan tim ukur kadastral untuk melakukan pengukuran.”ungkap Boli.
“Saudara ini bicara dan perintahkan pengukuran atas nama institusi atau kepentingan personal,” demikian ucap Bung Boli saat menanyakan tindakan petugas ATR/ BPN Tanjungpinang.
Oleh karena itu, dengan ditundanya pengukuran, dan pada tanggal 22 Agustus ini akan dilakukan mediasi antara para pihak di kantor BPN, dirinya berharap masalah sengketa tanah ini menemukan titik terang.
“Proses mediasi ini termasuk salah satu tahapan yang harus dilakukan oleh pihak BPN untuk mencegah para “Mafia Tanah” bertindak secara brutal di Kota Tanjungpinang,” kata Boli.
Dari hasil pengungkapan Rudy di hadapan pihak yang berwenang dan akhirnya membatalkan proses pengukuran ini, Boli merasa lebih yakin untuk terus memperjuangkan hak ahli waris, dan mengawal laporan atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat dari SKT 267/G-1/2003 atas nama Rosamaniah.
“Bagaimana mungkin surat SKT 267/G-1/2003 bisa dibuat oleh kelurahan Air Raja ketika itu, sementara dasar diterbitkannya surat adalah SKT 158/G-1/1979 a.n Maimunah dan surat aslinya masih di tangan ahli waris Junaidi Beng Kwang.”ungkap Boli dengan nada heran melihat tindakan pejabat Kelurahan Air Raja saat itu.
Dirinya berharap, publik ikut membantu mengawal permasalahan ini, agar seluruh instrumen atau instansi yang terkait melakukan tugas sesuai kewenangannya sebagai alat dan pelayan negara, dan bukan untuk melayani “keserakahan”.
781