Jurnalsidik.com, Anambas – Wacana penggabungan kembali Kabupaten Kepulauan Anambas dengan Natuna dalam rangka pembentukan provinsi baru menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Salah satu tokoh masyarakat Anambas, Muhammad Fadil Hasan—Ketua Bidang Hukum & Humas BP2KKA Pusat sekaligus Ketua Dewan Pembina LSM Anti Korupsi FORTARAN—menyuarakan agar wacana tersebut tidak direalisasikan secara tergesa-gesa.
Menurut Fadil, kondisi ekonomi Kabupaten Kepulauan Anambas saat ini masih tergolong sulit, dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, minimnya lapangan pekerjaan, serta defisit anggaran daerah.
“Kita jangan sibuk urus soal provinsi baru dulu. Lihat kondisi sekarang: ekonomi sedang parah, APBD defisit, APBN juga defisit. Banyak tenaga honorer yang tak bekerja, mereka mau makan dari mana? Di Tarempa tidak ada pabrik, kerja di sektor migas pun sulit. Ini yang seharusnya jadi fokus utama,” ujar Fadil saat dihubungi melalui WhatsApp dari kediamannya di Jakarta, Senin (14/4/2025).
Ia menegaskan bahwa pembentukan provinsi tidak otomatis membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu, Fadil menyebut bahwa secara administratif, syarat pembentukan provinsi belum terpenuhi.
“Menurut aturan, pembentukan provinsi harus memenuhi banyak syarat, termasuk minimal lima kabupaten.Anambas dan Natuna baru dua. Sementara upaya memekarkan Jemaja atau Letung menjadi kabupaten pun belum jelas hasilnya,” jelasnya.
Fadil juga menilai bahwa dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), Anambas lebih unggul dibanding Natuna. Ia menyayangkan jika Anambas harus kembali bergabung dengan Natuna, mengingat perjuangan panjang untuk memisahkan diri sebelumnya.
“Kalau kita kembali ke Natuna, itu langkah mundur. Kita sudah susah payah berpisah, kenapa harus kembali lagi?” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa banyak tokoh masyarakat Anambas yang juga menolak wacana tersebut, di antaranya H. Syahri, Wan Zuhendra, Saros, Zinan, dan Wahyudi. Fadil menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam keputusan besar seperti ini.
“Lebih baik kita adakan musyawarah besar atau referendum.Tanyakan pendapat rakyat dan para kepala desa, jangan hanya dengarkan politisi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti keberadaan sekitar 6.000 warga Anambas yang kini tinggal di Tanjungpinang, dengan akses yang lebih baik ke Singapura dan Malaysia.
“Mereka pasti tidak setuju Anambas kembali bergabung ke Natuna. Keinginan jadi provinsi ini hanya permainan politik. Masyarakat belum ditanya,” tegasnya lagi.
Menutup pernyataannya, Fadil berharap agar Bupati Anambas yang baru lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyat sebelum membahas pemekaran wilayah.
“Kalau memang ingin jadi provinsi, kenapa harus gabung ke Natuna? Lebih baik kita perjuangkan Matak jadi kabupaten, Jemaja juga. Kenapa malah sibuk ingin kembali ke Natuna? Itu langkah yang sangat tidak bijak,” tegasnya.
“Kita masih susah. Urus dulu ekonomi, bereskan defisit APBD. Kalau lima tahun ke depan kondisi membaik, baru kita bisa bicara soal provinsi. Sekarang belum waktunya,” pungkasnya.
(Agus Suradi, Jurnalsidik.com)
