Kepri dan Fenomena Politik: Waspadai Cukong Politik
Penulis: Aloysius Dhango, Sekjen PETIR (Pemuda Timur Indonesia Raya) Provinsi Kepri
Situasi politik di Kepri saat ini memang sedang hangat-hangatnya. Yang saya perhatikan adalah betapa paket-paket dan team sukses gencar melakukan semacam kampanye informal via media sosial.
Akhir-akhir ini media sosial secara kreatif didayagunakan untuk tujuan politis (salah satu efek cara hidup baru atau new nomal lifestyle di era covid19), dan rakyat lebih senang membuka android untuk memantau pekembangan politik daripada bergabung dalam kerumunan untuk mengikuti kampanye tatap muka.
Fenomena seperti ini dilihat juga sebagai bentuk sosialisasi. Kita bisa mengerti apa itu gerakan politik ketika kita sanggup membaca apa yang disebut “fenomena poitik”. Fenomena politik adalah aksi politik yang tampak, aktivitas yang kelihatan dan praksis politik yang kasat mata, walaupun hal ini belum terhitung sebagai aksi politik formal dan normatif.
Namun, kita harus menyadari bahwa politik itu bukan sekedar fenomena sebagai fenomena karena selalu ada sesuatu yang tersembunyi, bahkan yang rahasia dan sedikit misteri. Katakanlah yang tesembunyi itu adalah spirit yang menggerakkan. Masing-masing paket mempunyai fenomena dan juga “spirit” di baliknya. Hanya fenomena mana yang lebih jelas dan lebih tampak di mata publik amat tergantung dari spirit apa yang bermain di baliknya.
Awas! Politik selalu ambigu dan penuh paradoks. Hati-hati dan waspada dalam membaca fenomena berpolitik. Jangan sampai kita terjebak dalam suatu “kejadian politis” yang bisa membahayakan. Setiap orang hendaknya melangkah dengan pasti, pelan tapi jelas arahnya. Bangun interelasi yang baik, gunakan metafora yang santun, pendekatan yang demokratis, sambil tidak mengabaikan ‘the duty of civility” yaitu sopan santun publik dalam berkomunikasi dengan sesama.
Gunakan argumentasi politik yang elegan, tidak menyerang person tapi menyerang gagasan dan programnya. Hindari menggunakan argumentum ad hominen (argumentasi sesat yang menyerang pribadi seseorang) sebisa mungkin.
Komunikasi politik memiliki etika dan aturan main tersendiri. Yang tejadi di sana adalah “diskursus dan tindakan politik” yang bukan saja normatif tetapi juga etis dan bijaksana.
Ruang publik bukan milik penguasa dan bukan juga monopoli mereka yang menguasai teknologi komunikasi. Ruang publik adalah milik publik, yaitu semua subyek politik yang berhak atas tatanan hidup besama. Yang berkuasa di ruang publik adalah nalar publik yang pudent (bijaksana). Nalar itu berbicara tentang keadilan, kebenaran dan kebaikan publik.
Kita harus pandai-pandai menguasai ruang publik dengan “kebijaksanaan praktis” (phronesis) yang menawan hati semua orang. Tentu yang amat dibutuhkan dalam setiap aktivitas ruang publik adalah “tanggung jawab etis” karena politik selalu berhubungan dengan banyak orang, dengan rakyat dan dengan semua partisipan dari kelompok atau golongan mana saja.
Waspadai bahaya sektarian politik yang bisa menjerumuskan kita ke dalam primordialisme yang sempit. Politik yang sukses adalah politik yang lebih terbuka, transparan dan bisa dibaca oleh semua lapisan publik. Politik seperti ini tidak berwajah ganda. Ia hanya mewartakan kebenaran sebagai kebenaran, kebaikan sebagai kebaikan dan keadilan sebagai keadilan, bukan pseudo atau seolah-olah benar, seolah-olah baik dan seolah-olah adil.
Rakyat harus cerdas membaca berbagai wacana politik yang disampaikan oleh paslon melalui team sukses agar tidak terbuai dengan kemasan-kemasan yang tampak hebat dan wah. Tugas kita semua sebagai subyek politis adalah memperlihatkan kebenaran, mewartakan faktum keadilan, berbicara transparan dan baik adanya. Bangun komunikasi politik yang santun serta kembangkan diskursus/wacana yang elegan dengan argument yang valid.
Yang berani masuk dalam ruang politik hanyalah subyek politik yang heroik dan profetis dengan kebenaran dan keadilan. Mereka ini tidak boleh canggung menjadi bagian dari “fenomena politik”. Biarkan kebenaran berbicara dan roh keadilan berhembus melalui setiap fenomena politik di Kepri. Untuk itu kita harus membangun “bonum commune” alias kemaslahatan orang banyak, yakni kehidupan masyarakat yang “benar dan adil” serta “baik dan sejahtera”.
Berwaspadalah ke depan agar Kepri tidak melahirkan pemimpin titipan para cukong. Karena pemimpin yang dititip oleh para cukong akan menghasilkan kebijakan politik yang memihak para cukong politik. Ini sesungguhnya bahaya oligarki yang sedang melanda dunia politik Indonesia secara umum.
Mahfud MD memberi peringatan keras dan tegas tentang hal ini: “permainan para cukong di mana calon dibiayai cukong itu melahirkan kebijakan, yang sesudah terpilih melahirkan korupsi kebijakan,” kata Mahfud dalam Konferensi pers virtual, Jumat, 11 September 2020 (dikutip dari TEMPO.CO).
Bahkan Mahfud MD secara blak-blakan menyampaikan bahwa hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata, kata Mahfud, setelah terpilih para kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut.
“Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih itu melahirkan korupsi kebijakan,” kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi” yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi Pusako FH Unand.
Demikian yang dapat dikutip dari berita politik pada cnnindonesia.com, Jumat, 11/09/2020. Korupsi kebijakan jauh lebih berbahaya dari korupsi uang sebab melalui hal itu para cukong menitip pelbagai niat jahat mereka dan menentukan kebijakan daerah agar mereka boleh dengan leluasa menguras kekayaan geografis dari daerah tertentu.
Kini kita mengalami bahwa kaum neoliberal dan para kapitalis sedang menyusup masuk lewat semua kebijakan politik di setiap daerah. Kepri perlu waspada tentang hal ini. Menurut Mahfud, “ada Undang-undang yang menyatakan, misalnya bupati itu boleh memberi lisensi eksplorasi tambang untuk sekian persen luas daerah.” Lalu, setiap bupati/walikota baru, sering membuat izin baru sesuai niat cukong politik yang pernah membantu membiayai pada masa kampanye pada saat pilkada yang dimenangkannya.
Maka yang sering tejadi adalah ‘overlapping’ kebijakan, dan tentu hal ini menjadi rumit ketika Persoalan korupsi dibawa ke meja hijau dan banyak pihak yang berkelit dengan bermacam-macam argumen rasional instrumentalistik.
Selain fenomena, spirit dan komunikasi politik, publik atau masyarakat perlu menilai juga ‘rekam jejak’ dari setiap aktor politik yang tampil. Dalam ranah politik sudah lumrah kalau setiap aktor bisa “bermain” seturut fenomena, spirit dan gaya komunikasi aktual namun rekam jejak politiknya tetap hadir dalam setiap penampilannya. Katakanlah bahwa publik harus memiliki pemahaman dasar bahwa “pohon yang baik selalu menghasilkan buah yang baik, dan tidak mungkin pohon ara menghasilkan buah anggur”.
Tulisan ini cuma sebuah catatan pinggir yang diramu dari berbagai diskusi di kedai kopi Tanjungpinang.
633