Mengenang Didi Kempot, Sang Maestro Patah Hati
Jakarta. Jurnalsidik.com– Didi Kempot memulai perjalanan hidup dengan “Sekonyong-konyong Koder” merantau dari “Parangtritis” menuju “Stasiun Balapan”, perjalanan jauhnya hingga “Sewu Kutho”‘ (seribu kota) dengan “Perahu Layar”, — hanya makan “Jambu Alas” dan lauk burung “Cucak Rowo”, —- berharap minum hanya dari “Banyu Langit” (air langit) untuk mengobati korban “Cidro” di hati ini, yang patah hati ini, gara-gara engkau “Pamer Bojo” anyar. Ambyar ..!!! Cieee..
Itulah Didi Kempot kalau saya artikan pakai judul lagu-lagunya. Selamat jalan, Mas Didi.
Nama aslinya, Dionisius Prasetyo. Lahir di Surakarta, 31 Desember 1966. Sejak kecil ia dipanggil Didi.
Tahun 80-an, Didi punya group musik. Namanya “Kelompok Pengamen Trotoar” — inilah grup musik asal Surakarta yang membawa ia hijrah ke Jakarta tahun 1986. Oh ya, nama group itu kalau disingkat jadi “Kempot.”
Sejak itu, telah lahir superstar baru yang kelak akan sangat melekat di panggung hiburan Nasional, menyandang gelar Kempot: sang maestro campursari Didi Kempot.
Didi Kempot lah — didukung almarhum Manthoes, sejumlah Dalang terkenal — yang membawa “peta lagu- lagu Jawa” berpindah arah dari Jatim ke Jateng.
Sesungguhnya, campursari itu bukan Jateng. Tapi Jatim. Tahun 60-70- an dikobarkan Koes Plus asal Tuban, Jatim, meledaklah lagu “Tul Jaenak Jaejatul Jaiji..”. Lalu mendiang Mus Mulyadi menggebrak dengan “Rek Ayo Rek Mlaku-mlaku Nang Tunjungan.” Lalu terkenal lah lagu-lagu Jawa Timuran lainnya seperti “Lontong Balap Wonokromo”, “Jembatan Merah”, “Tanjung Perak”, dan lain-lain.
Genre lazimnya ya “lagu pop Jawa.” Kini lebih terkenal dengan istilah yang dibawa Kempot dan kawan-kawan Jawa Tengah ini, dengan istilah “campursari.” Bedanya, lagu pop Jawa itu didukung sejumlah dalang. Lalu lagu-lagu pop Jawa populer ini juga dimainkan dan “dicampur” gending-gending wayang. Jadilah “campursari”.
Tak ada yang menyangka. Didi Kempot sudah menulis 700-an lagu selama hidupnya. Beberapa puluh lagu menjadi terkenal yang membuat orang begitu mencintai Kempot, sekalipun mereka gak mengerti bahasa Jawa.
Sebagian besar lagu ciptaan Kempot bernuansa menyedihkan, patah hati, dan gagal cinta yang biasa disebut “ambyar” (hancur). Gelar terhormat non ijazah baginya adalah “Bapak Patah Hati Nasional.”
Didi Kempot disebut sebagai “Godfather of Broken Heart” —- dengan panggilan “Lord Didi.”
Sedang kaum penggemarnya, menyebut diri mereka sebagai “Sadboys” dan “Sadgirls” yang tergabung dalam “Sobat Ambyar”.
Lelaki yang dulunya memang kurus dan pipinya memang kempot ini — tiga tahun terakhir agak gemuk — memang terlahir dari keluarga seniman.
Ayahnya, wong top di Jateng, seorang seniman tradisional terkenal, Ranto Edi Gudel. Lebih dikenal dengan Mbah Ranto.
Kakak kandungnya adalah Mamiek Prakoso, pelawak legendaris Srimulat.
Karier Didi Kempot benar-benar dimulai dari nol. Ia memulai karier sebagai musisi jalanan di kota Surakarta sejak 1984 hingga 1986.
Mengawali dari ngamen sambil terus nulis lagu. Rekaman dan edar VCD (jaman 90-an) dan orang tahu ia pun terkenal mencapai puncak kariernya hingga ia meninggal Selasa (5/5) hari ini.
Yang kami tahu dan dengar dari teman-teman musisi campursari dan dangdut, bahwa Kempot itu hidupnya sangat ikhlas dan mengalir saja.
Ia sering ditipu teman-temannya. Misalnya lagunya “dipakai” tapi tak dibayar, ia diam saja. Tak ada sengketa hukum atau apapun sepanjang hidupnya. Ia mengalir saja seperti air.
Dari getirnya hidup itu dan pengalaman orang lain, ia tulis jadi lirik lagu, —- yang rata-rata akhirnya bertema patah hati. Tema patah hati karena banyak orang mengalaminya.
Sekarang, “Godfather of Broken Heart” sudah tidak ada. Lord Didi sudah pergi untuk selamanya.
Kalian, wahai penggemarnya, wahai kaum patah hati, sudah, jangan lama-lama patah hati. Temukan kekasih baru dan jodoh baru, obati luka dan hiduplah dengan cinta abadi yang dibawa mati, seperti Didi Kempot yg mencintai Yan Vellia istrinya, yang ia pun dicintai seantero negeri.
Andai saja ia dimakamkan di Stasiun Balapan saja, maka orang-orang yang lalu-lalang hendak naik kereta akan bercucuran lah air mata, —– bahwa di sini telah tidur abadi sang Maestro Patah Hati. Selamat jalan, Mas Didi.
Penulis: Zulkarnain
551